Ditulis oleh Fr. Florentinus SCJ
31 MARCH 2014
Tampangku Bisa Menipu
Rasanya wajar kalau tiap orang yang melihatku pertama kali akan kagum. Tetapi ketika tahu siapa aku yang sebenarnya, mungkin susah untuk dipercaya. Dari penampilan luar, aku tampak keren seperti teman-teman (normal). Tubuhku sehat. Wajahku sedikit mirip dengan orang Korea. Kulitku putih terawat. Namun siapa sangka kalau aku punya kelemahan yang kadang susah diterima kebanyakan orang.
Dari pengalamanku, yang sering terjadi adalah ketika orang melihat aku pertama kali, mereka spontan kira aku normal seperti anak lainnya. Namun, ketika mereka mulai mengajakku berbicara, jangan harap mereka akan mendapat tanggapan dariku meski hanya sepatah kata saja. Lalu ketika orang menatapku lebih lama lagi dan memperhatikan dengan cermat, barulah mereka akan tahu bahwa aku seorang autis.
Salah satu kisah dimana penampilanku menipu orang kalau aku tidak autis adalah ketika para frater SCY berjumpa denganku. Mereka datang di Panti Asuhan Bhakti Luhur, tepatnya di asramaku, untuk tinggal dan belajar mendampingi kami selama kurang lebih 3 minggu pada bulan Juni 2012. Ketika aku pulang sekolah bersama teman-teman yang cacat lain dan para perawat, di rumah (asrama) aku melihat ada 3 orang baru. Mereka itu pemuda-pemuda yang lumayan keren dari Yogya. Ternyata mereka adalah para frater SCY yang mau belajar tinggal bersama kami di Panti Asuhan Bhakti Luhur.
Melihat aku, mereka menatapku kagum. Lalu, salah seorang mengajakku bercakap-cakap seolah menganggapku anak normal. Aku sih diam saja seperti biasa. Mana kutahu bahasa orang itu. Lagi pula aku kan memang tidak bisa bicara. Rupanya ia belum percaya kalau aku autis. Hehe…kasihan para frater itu. mereka tertipu oleh penampilan sekilasku.
Siapa Aku ini
Nama lengkapku Geovranio Imanuella Purba. Orang fasih memanggilku Nio saja. Aku dilahirkan di kota Tangerang pada tanggal 7 Maret 1997. Aku hanya 2 bersaudara. Aku anak pertama dan memiliki seorang adik. Karena keadaanku yang seperti ini, setelah lumayan gede aku masuk ke Panti Asuhan Bhakti Luhur Jakarta. Aku rasa ini adalah tempat yang tepat untukku supaya bisa sedikit demi sedikit berkembang mengatasi keterbatasanku ini.
Aku sama lho dengan teman-teman lain. Aku juga punya orang tua. Mereka telah membesarkan dan merawat aku dari kecil. Lalu aku masuk ke Panti Asuhan Bhakti Luhur ketika sudah cukup gede. Keluargaku tergolong keluarga yang berkecukupan. Papa punya mobil bagus juga kok. Mobil itu sering dibawa untuk menjemputku ketika mulai liburan dan menghantarku kembali ke Panti Asuhan Bhakti Luhur tiap kali masuk semester baru.
Aku sudah cukup lama tinggal di Panti asuhan Bhakti Luhur. Orangtuaku berharap agar aku bisa sedikit demi sedikit berkembang dan bisa lebih mandiri dengan memasukkan aku ke Panti Asuhan Bhakti Luhur tercinta ini. Di sekolah Panti Asuhan kan ada pelajaran “Bantu Diri”. Setidaknya aku dan teman-teman mendapat perhatian khusus layaknya anak-anak berkebutuhan khusus seperti kami ini. Memang sih sekolahan kami tak seperti sekolah anak-anak normal di luar sana. Yang pasti para perawat kesulitan dan harus bersusah payah mendampingi dan membimbing kami supaya lebih berkembang dan bisa bantu diri. Itulah tugas mereka yang mungkin tidak mudah.
Aku Berbeda dengan Yang lain
Aku sudah bilang sebelumnya bahwa aku berbeda dengan teman-teman yang normal lainnya. Aku tidak bisa berbicara. Aku juga tidak bisa menangkap maksud orang lain ketika diajak bicara. Aku susah berkomunikasi dengan orang lain baik secara verbal maupun non verbal. Aku memang hidup bersama dengan teman-teman di Asrama Panti Asuhan, tetapi jangan harap aku bisa berkomunikasi dengan mereka. Kehidupan sosialku bersama para perawat dan teman-temanku hanya sebatas tinggal bersama. Tidak pernah ada “ngobrol bareng” bersama, kecuali di antara para perawat sendiri.
Aku lebih sibuk dan hanya mengerti dengan duniaku sendiri. Itulah yang bisa kupahami tentang diriku. Setiap hal yang kulakukan cenderung mengarah ke diriku sendiri sebagai pusat. Orang mungkin akan bilang aku egois, tetapi inilah situasiku. Aku tidak bisa mengerti maksud orang lain, apalagi harus membantu orang lain. Mengurus diri sendiri saja, aku belum bisa, bagaimana bisa mengurus orang lain.
Ketika aku melihat apapun juga yang bisa dipandang oleh kedua mataku, aku tidak bisa memberikan nama kepada benda itu. Kalau anak-anak seumuranku yang normal tentu bisa melakukannya dengan mudah. Sejauh aku mengerti, benda-benda yang kulihat itu ada yang diam saja, ada yang bergerak. Ternyata ada benda yang mirip dengan aku, tetapi bisa ngomong.
Semua benda bisa kulihat, tapi aku tidak bisa mengatakan apa namanya kepada orang lain. Aku tidak bisa berpikir benda itu apa, kenapa ada yang diam dan bergerak, darimana asal benda itu dan sebagainya. Yang jelas, apa yang ada itu biarlah tetap berada seperti itu. Semua itu tidak perlu dipikirkan dan dipertanyakan.
Kebiasaan-kebiasaanku yang menyenangkan, tapi kadang mencelakakanku juga
Ada beberapa kebiasaan yang sering kulakukan. Semua itu cukup asyik kulakukan sendiri. Aku tidak bisa menuntut orang lain untuk mengerti aku seutuhnya sebab ini memang keadaanku. Kebiasaan-kebiasaan ini terjadi otomatis begitu saja. Aku sendiri kesulitan untuk mengubah kebiasaanku ini. Para perawat dan pendampingku pun rasanya juga kewalahan menghadapiku. Tapi aku sendiri tentu merasa asyik donk dengan kebiasaan-kebiasaanku sendiri.
Pertama, aku sering ngompol. Seandainya ditanya kamar siapa yang paling bau di asramaku, jawabannya pasti kamarku. Kenapa? Karena aku suka ngompol, bahkan tidak hanya di kamar. Dalam satu hari saja, aku bisa ganti celana 100 kali kalau aku mau sebab aku sering kencing di celana. Itu terjadi otomatis begitu saja dan tidak kusadari. Maka, para perawat tidak mengganti celanaku setiap aku kencing di celana. Kita perlu belajar hemat. Kalau celanaku sudah basah kuyub, barulah ada yang mau mengganti celanaku. Aku sendiri tidak mungkin berpikir untuk mengganti celana sendiri.
Kedua, aku tidak bisa duduk diam. Selama mataku terbuka, selama itu pula aku akan bergerak dan berjalan. Susah bagiku untuk duduk diam. Aku akan terus berjalan dan berjalan menyusuri setiap ruangan asrama yang bisa aku lewati. Tidak peduli apa kata orang, apa larangan orang. Mungkin mereka ada yang terganggu. Yang penting aku bergerak terus tanpa tujuan. Kalau sudah capek, ya enaknya langsung tidur. Dan ketika mataku perlahan tertutup, saat itulah aku bisa diam meski nantinya tetap aja ngompol.
Ketiga, aku akan makan makanan apa saja yang kutemui. Itu kulakukan sambil bergerak dan terus bergerak. Akibatnya, kadang apa yang kumakan itu tidak selamanya baik untuk kesehatanku. Kadang perutku menjadi mual. Kadang tubuhku juga jadi lemas. Pokoknya macam-macam deh yang kurasakan. Misalnya aku makan sesuatu di atas cobek pada suatu siang. Ternyata setelah itu, lidahku panas banget dan tanganku juga ikut panas. Rupanya sambal cabe kumakan begitu saja secara diam-diam seperti nasi. Aku mengambil dengan tanganku. Tetapi tetap saja aku mengulanginya saat semua orang tidak melihatku dan melarangku.
Ada kisah lain lagi yang serupa. Aku minum cairan kehitam-hitaman di samping kompor. Cukup manis rasanya. Tapi setelahnya, kepalaku jadi pusing dan mataku berat untuk kubuka. Aku hampir saja pingsan. Rupanya aku minum kecap. Anehnya, aku terus mengulangi dan mengulangi lagi esok hari tanpa sadar itu adalah salah satu jenis barang alergiku.
Keempat, aku suka memainkan sesuatu sendirian. Asyik rasanya. Misalnya memutar gelas plastik atau juga segala jenis kertas sambil berjalan dan terus berjalan. Sebuah buku frater menjadi salah satu korban tangan saya. Benda di tanganku bisa bertahan lama kuputar-putar. Semakin lama rasanya semakin asyik. Mungkin orang normal akan bosan melihatku seperti ini, tetapi aku enjoy aja karena memang duniaku memang seperti ini. Dunia yang penuh dengan keasyikanku sendiri.
Itulah beberapa kebiasaan yang aku lakukan tiap hari. Mungkin orang (normal) bisa bilang kebiasaanku ada yang kurang bagus. Tapi aku sendiri tetap merasakan asyiknya duniaku. Kebiasaan-kebiasaan itu menyenangkan, meski kadang mencelakakanku juga. Namanya juga autis, aku tetap aja melakukan apa aja yang mungkin bisa mencelakakanku. Untung para perawat berusaha senantiasa memperhatikanku.
Aku Bisa Bahagia dan Bersyukur
“Inilah aku, utuslah aku”, seperti kata-kata nabi Yesaya. Keadaanku memang begini. Kalau bisa memilih, tentunya siapa sih yang tidak mau hidup normal seperti anak-anak yang lain. Tapi aku tidak mau pusing dan memberontak seperti manusia normal yang kebanyakan malah susah untuk mensyukuri keadaannya. Aku dengan keadaan seperti ini saja bisa happy kok.
Aku mencoba menerima keadaanku ini. Bahkan aku sendiri saja tidak bisa menciptakan diriku yang seperti ini, kenapa harus menolak situasi. Tanpa adanya rasa syukur, aku tidak akan bisa menikmati hidup. Rasa syukurku mungkin bisa dilihat bagaimana aku tidak memberontak dalam menjalani hidup. Hidup dalam ketegangan dan tekanan dalam diri terus menerus itu sungguh mengerikan. Maka aku tidak mau ambil pusing dan meratapi diri yang seperti ini. Aku sudah merasa hidupku ini adalah hadiah Tuhan yang berharga.
Aku bisa melihat bagaimana hidup orang-orang normal yang tidak seperti aku dan teman-teman berkebutuhan khusus lainnya juga mengalami perjuangan keras dalam hidupnya. Setidaknya aku sendiri tidak akan menyesal pernah dilahirkan di dunia ini, sekalipun harus menjadi seorang autis. Kalau aku bisa bicara, mungkin aku akan mengucapkan maaf kepada keluargaku karena aku hanya bisa seperti ini. Aku yakin kalau mereka diberi pilihan oleh Tuhan, mereka pun akan memilih anak yang tidak seperti aku, artinya normal.
Awalnya mungkin para orang tua susah menerima keadaan anak yang seperti aku ini. Tapi jika mereka tahu, aku pun tidak pernah berharap hidupku seperti ini. Sekarang yang paling diperlukan hanyalah saling menerima keadaan. Aku menerima keadaanku dan keluargaku juga menerima keadaanku. Jalani semua dengan penuh syukur. Tuhan pasti mencintai semua kok.
Belajar dari Dia Lewat dia
Mengikuti kisah singkat adek Nio tadi, membuat penulis sendiri merasa iba dan terharu. Dia dengan keadaan yang sedemikian itu bisa membuat mata dunia dibantu untuk menatap dengan jernih. Ada hal yang perlu disyukuri dalam hidup sehari-hari. Kita tidak perlu meratapi dan menyesali keadaan diri yang memang demikian adanya. Ada hal yang bisa diubah, tetapi ada juga sesuatu yang hanya bisa diterima kalau kita mau mendapat ketenangan dalam hidup.
Sosok Nio mungkin susah diterima dalam masyarakat pada umumnya. Praktis, dia tidak bisa berelasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Dia sendiri saja tidak bisa memahami dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Dia butuh uluran tangan kasih dari orang lain untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Tidak jarang susah menemukan orang yang mau peduli seperti adik kita yang satu ini.
Apa saja sih yang bisa kita dapat kalau kita mau belajar dari Nio? Sekilas, orang pasti akan berpikir tidak ada satu hal pun yang bisa dijadikan hikmah dari kisah Nio ini. Orang umumnya hanya akan terfokus melihat sisi lemah seseorang. Padahal lewat kehadiran Nio, Tuhan bisa berkarya dan menyapa kita. Mari sejenak kita merenung.
Penulis sendiri sempat merasa kebingungan menemukan Tuhan yang hadir. Bagaimana bisa hidup seperti Nio ini dikatakan bahagia. Penulis sendiri setelah mengalami pengalaman tinggal bersama adik Nio selama kurang lebih 3 minggu, awalnya merasa berat mendampingi anak seperti ini. Gak habis pikir rasanya. Tuhan kok menganugerahkan keadaan seperti ini kepada ciptaan yang dikasihiNya.
Berbagai variasi keadaan manusia diciptakan oleh-Nya. Ada yang lengkap, sempurna tetapi juga ada yang kurang beruntung seperti Nio ini. Rupanya perbedaan yang diberikan oleh Tuhan kepada masing-masing ciptaanNya mengundang kita untuk hidup saling melengkapi dalam ikatan kasih. Kasih yang ia ajarkan dan teladankan dalam diri Yesus Kristus itu menjadi patokan utama dalam menjalankan hidup sebagai pengikutNya. Hidup bersama orang lain menjadi indah kalau semua bisa hidup seperti Yesus.
Terhadap orang yang lemah dan tersingkir, Tuhan menaruh perhatianNya. Maka prioritas hidup kita memang mestinya mengarah kepada ketergerakkan hati untuk mengulurkan tangan kepada yang lemah. Anak seperti Nio adalah salah satu contohnya.
Dalam arti tertentu, Nio sebenarnya menerima dan menikmati keadaanNya. Namun sebagai seorang autis, tentu ia hidup dengan dunianya sendiri. Membantu orang lain baginya tentu tidak pernah terpikirkan di dalam benaknya. Kita sebagai manusia yang diberi karunia lebih oleh Dia mesti mampu membantu sesama dengan meneladan Dia. Meneladan Dia berarti harus sampai pada pelayanan kepada dia yang membutuhkan, seperti Nio.
sumber berita: